Wolf's Alter Ego


Dahulu kala, Serigala dan Domba bersahabat dengan sangat baik. Kapanpun dan dimanapun, mereka selalu menikmati kebahagiaan dan kesedihan bersama-sama. Tak pernah ada sedikitpun pertengkaran diantara mereka. Hingga suatu hari, sang Domba menghilang secara misterius.


 Keluarga Domba beserta sang Serigala saling berpencar untuk mencarinya. Siang dan malam pencarian itu tak terhenti. Dan akhirnya, sang Serigalalah yang menemukan sang Domba dibalik sebatang pohon Akasia.

 Namun, sang Domba ditemukan dalam keadaan mengejutkan. Kepalanya terpisah dari tubuhnya. Perutnya yang sobek dan terbuka lebar hanya terisikan oleh tulang-belulang. Kaki-kakinya hampir putus. Dan darahnya yang merah kecoklatan menggenang kering diatas hijaunya rerumputan. Ia, telah mati.

Dengan sedih, sang Serigala memungut kepala sang Domba serta membawanya pulang, bermaksud untuk mengumumkan bahwa sang Domba telah ditemukan dalam keadaan mati.
     Namun ketika sampai, keluarga Domba menatap marah sang Serigala. Mereka mengira, Serigalalah yang telah membunuh sang Domba. Dan dihari-hari berikutnya, tak ada seekor domba pun yang berani menatap ramah, serta mendekati sang Serigala. Selain itu, mereka juga memberitahukan kepada hewan lain, bahwa sang Serigala adalah makhluk jahat yang harus dijauhi.

Sang Serigala sudah tak tahan dengan perlakuan domba-domba tersebut. Ia pun mulai menerkam mereka, dan dengan ketajaman giginya ia tak membiarkan setetes pun darah yang masih mengalir dalam pembuluh mereka. Kini, Serigala pun menjadi makhluk yang dipenuhi oleh dendam dan selalu haus akan membunuh.

***

Pagi yang terasa cukup dingin. Awan-awan putih menghalangi hangatnya sinar mentari yang belum lama menampakkan dirinya di langit yang membiru. Angin menghembus pelan, menerbangkan dedaunan yang berjatuhan hingga menjauh dari asalnya. Di pepohonan, burung Mockingbird saling berkompetisi  untuk mengicaukan suara terindahnya.

Sang angin ingin bermain rupanya. Ia meniup-niup rambut seorang gadis, meski gadis itu tak mengindahkan ajakannya. Ia tetap menggenggam erat tasnya dengan kedua tangan sambil berharap agar kereta yang ditunggunya segera datang dan membawanya pergi ke tempat yang jauh, dimana kakeknya berada. Ketika itu, ia sedang berlibur. Ingin sekali ia mengisi waktu luangnya tersebut bersama seorang kakek yang sama sekali belum pernah dijumpainya. Meski begitu, ia yakin kakeknya adalah orang baik yang tak diragukan akan mengajari banyak hal menarik kepadanya. Terpikir olehnya, pengalaman kali ini pasti akan tersimpan sangat baik dalam sistem limbiknya.

Kereta yang sudah dinantikan akhirnya tiba. Segera, gadis tadi memasukinya dan memilih untuk menduduki kursi terujung. Tak perlu menunggu lama, akhirnya kereta yang tak ramai penumpang itu pun mulai meninggalkan stasiun. Pemandangan yang terlihat di jendelanya berganti-ganti bagai sebuah film yang sedang diputar. Semakin lama semakin cepat. Satu-satunya suara yang mengiringi hanyalah sebuah nyanyian kereta yang menderu. Dan dalam perjalanan panjang tersebut, gadis itu mengantuk dan akhirnya termanipulasi oleh alam bawah sadarnya.
***
Entah sudah berapa lama sang gadis terlelap. Kereta yang ditumpanginya masih terasa melaju, walau mengalah pada seekor Cheetah. Sinar mentari yang menerobos jendela kereta tampak tak begitu terang, ketika ia mulai membuka mata. Terasa hangat ketika menyapa lapis demi lapisan kulitnya.

Tiba-tiba, keanehan tertangkap oleh indera visualnya. Tak ada penumpang lain selain dirinya. Tak hanya itu, pemandangan di luar jendela menampilkan bentangan laut biru yang mencakrawala. Ini benar-benar aneh! Mana mungkin ada kereta bisa berjalan di atas lautan, ‘kan? Seandainya ada, jembatan pasti dibangun sebagai perantara laut dengan kereta tersebut. Namun setelah sang gadis melongokkan kepalanya keluar jendela, air laut tampak seakan dijadikan sebagai pijakan kereta, pertanda bahwa memang tak ada jembatan yang dibangun.

Karena kesendirian tersebut, gadis itu pun akhirnya mulai terhanyut, menjauh dari rasa ketenangannya.

Tapi tunggu. “Sendirian”? Lalu siapa yang mengendarai keretanya? Ah, ia lupa akan hal itu. Tentu saja, pastilah dimana ada kereta disana ada masinisnya. Ketakutannya pun mulai terkikis, meskipun ada kemungkinannya juga jika kereta ini bergerak sendiri, tak bertuan.

 Ditemukannya seekor kelinci yang terlihat sedang memandu laju kereta ketika gadis itu memasuki ruangan masinis. Tinggi kelinci itu seukuran dengan sang gadis. Ia memakai setelan seragam berwarna biru lengkap dengan topinya.
 Kelinci itu menoleh ke arah sang gadis. Ia menunjukkan mata hitamnya yang seakan menatap polos, sehingga gadis itu sampai terlonjak kaget dibuatnya. Dengan mata yang terbuka lebar dan mulut menganga, gadis itu kemudian menunjuk gemetar.

“HANTU KELINCI!!”, ia memekik tanpa tedeng aling-aling. Spontan, kedua daun telinga kelinci itu pun berdiri menegak. Namun, seolah angin lalu ia pun segera melayangkan pandangnya kembali ke depan.

“.……..”

“Eva?”
“Ya…..?”, gadis itu—Eva, menyahut takut-takut. “Kau….. kau bisa berbicara? Dan, mengapa kau tahu namaku? Juga mengapa aku disini? Dimana ini sebenarnya?”, ia kemudian menyerbukan tanya, seolah si kelincilah dalangnya.
“Hewan yang berbicara mungkin hanya aku disini. Kutahu namamu karena kau yang terpilih. Mengantarmu, itulah tugasku”, membelakangi Eva, ia menjawab. “Aku Lyon”.
“Memangnya siapa yang memilihku dan untuk apa aku terpilih?”
Sekali lagi, Lyon menjadikannya sebagai angin lalu.
***
Jendela kereta tak lagi memutarkan filmnya. Kini semua gelap, nyaris tak terlihat. Sang surya baru saja tenggelam. Lyon yang menjelaskan, bahwa mereka telah sampai di tujuan dan Eva harus segera turun dari kereta. Eva yang merasa ragu tak mengindahkannya, hingga akhirnya Lyon terpaksa mengambil sebuah senapan dari ruang masinisnya dan menembakkannya secara asal keluar kereta. Kesunyian, akhirnya terpecah oleh suara tersebut meski periodenya hanya dalam hitungan detik.
“Turun, atau bayar dengan nyawamu?”, ancamnya dingin. Eva tak lagi memiliki pilihan lain selain menuruni kereta. Dan akhirnya setelah Eva turun, cepat-cepat Lyon menutup pintu kereta serta kembali menjalankannya hingga selayang pandang, kereta itu pun lenyap ditelan kegelapan dan sunyi.
“Dasar!! Matang diluar, mentah didalam!! Kata-katanya tadi juga pasti hanya sekadar gajah yang melompat!! Memangnya ada, alasan yang membawaku untuk terpilih!? Dan sekarang, meninggalkanku di tempat yang lebih mengerikan!!”, Eva menggerutu. Seketika, ia pun berjalan tak tentu arah. Ia menyapukan pandang ke sekitarnya. Dari bentuk serta bayangan yang menyerupai pepohonan dan semak, ia meyakinkan kepada dirinya sendiri bahwa tempat itu adalah sebuah hutan.
Ditengah kesunyian, tiba-tiba bunyi menggeresek terdengar. Eva mulai bergidik, merasakan ada bahaya yang sedang mengintainya. Kemudian melompatlah seekor serigala dari balik semak-semak. Merasa akan dijadikan santapan lezatnya, tak tentu arah Eva pun segera berlari untuk kabur. Namun serigala itu dengan cepatnya mengejar Eva, dan Eva tetap tak hentinya berlari sampai napasnya mulai tak beraturan. Hingga tanpa sedikitpun ketersengajaan, Eva terantuk oleh sebuah akar pohon dan ia pun terjatuh.
“Kali ini, aku akan mati”, pikir Eva. Mengandai untuk tetap hidup, batinnya mengucap. Namun apa daya, tubuhnya terasa sulit untuk digerakkan. Dan seketika, pandangannya pun mulai buram menghitam.
***
Eva mulai membuka indera penglihatannya. Air laut yang membiru terlihat begitu indah ketika menghempas-hempaskan pasir putih yang membentang seakan tak berujung. Tak jauh dari tempatnya terduduk, ia melihat seorang anak lelaki. Anak lelaki yang tampak berumur sekitar empat belas tahun—seumur dengannya. Dan anehnya, anak itu memiliki sepasang telinga di atas kepalanya beserta dengan sebuah ekor. Telinga dan ekor serigala.
Eva mencoba untuk bangkit. Begitu aneh, tubuhnya samasekali tak merasakan sakit seakan kejadian semalam hanya mengunjungi alam bawah sadarnya saja.
Tak ayal, ia lalu berjalan mendekati anak tadi dan kemudian mendudukkan diri disampingnya. “Kau….kaukah yang menyelamatkanku?”, bukan tinggi, itulah nada pertanyaan Eva. Anak itu membungkam dan tetap tak melepas arah pandangnya dari lautan yang membiru. Eva hanya bisa menatapnya terheran.
“Aku Eva. Kau?”, diikuti arah pandangnya ke arah lautan.
“Ni…ko…”, balasnya menunduk, memancarkan tatapan seperti hendak menangis. Telinganya pun perlahan terkulai, bagai daun yang layu. Eva kembali menatapnya. Tangannya kemudian terangkat, tertarik untuk menyentuh telinga Niko.
“Jangan sentuh aku!!”, Niko berseru seraya menepis tangan Eva. “Kau akan…..”
“Kau benar manusia? Atau sebenarnya kau serigala?”
“………”
“Dan… sebenarnya ini tempat apa?”
Niko hanya membisu, seakan menganggap Eva sebagai sebuah kerikil yang terjatuh di pinggir sungai. Dan sesaat, mereka saling mengurungkan kicau.
Lalu, Niko pun bangkit berdiri dan kemudian menyodorkan tangannya kepada Eva.
“Ayo. Kau mau tahu tentang tempat ini, ‘kan?”, meski nada ajakkan Niko melain dari tinggi, Eva sampai tersentak. Namun ia mengangguk, seraya meraih tangan Niko dan ikut untuk berdiri.
“Ikuti aku”, digerakkanlah sepasang kaki Niko.
“Tempat ini adalah sebuah dunia. Dunia dimensi, yang tersembunyi diantara ruang dan waktu”, setelah mengucapkannya, ia pun berubah menjadi seekor serigala. Serigala yang tampak menyembunyikan suatu kesedihan.
***
Segala yang tersapukan oleh pandangnya, diekspresikannya dengan takjub. Jutaan kilau bintang berkelip. Melain dilangit, namun di laut yang membentang hingga ke cakrawala. Kaki Eva terpijak diatasnya. Ia kemudian berjalan, meniggalkan jejak meriak diatas air. Setelah itu ia pun melipat kedua kakinya, hendak mengintip kehidupan dibawah pijakannya tersebut.
Bertambah kekagumannya. Yang disaksikannya kini adalah sebuah dunia menakjubkan, ditinggali oleh beragam makhluk yang sebelumnya hanya pernah menghuni alam khayalan. Tentunya disertai juga dengan istana dan ornamen lainnya. Membuat Eva tertarik untuk menyentuh, atau mungkin memasuki alam tersebut karenanya.
Perlahan jemarinya mulai dicelupkan. Rasa dingin menyapa, namun bukanlah dinginnya lautan pada umumnya. Semakin tertarik, ia memperdalam masuk tangannya hingga ke lengan. Namun, hal itu membuat dirinya jatuh terperosok kedalam lautan tersebut. Eva merasa panik. Namun ternyata, tubuhnya terasa melayang sehingga ia jatuh terkendali. Dan akhirnya, Eva bisa mendaratkan tubuhnya dengan aman didasar laut tersebut.
“Tutuplah matamu hingga hitungan ketiga”, entah darimana berasal, suara Niko terdengar. Eva mengedarkan pandangnya ke segala arah untuk menemukan sang pemilik suara. Namun sang pemilik suara tersebut tetap tak menampakkan sehelaipun surainya. Dengan pikirnya yang masih menuntut jawaban, Eva pun akhirnya menutup matanya, dan menghitungnya hingga tiga. Setelah itu, perlahan ia mulai membuka jendela penglihatannya kembali.
Kini yang disekitarnya sudah tidak lagi serupa dengan yang terpandang sebelumnya. Sawah hijau memetak-metak terbentang. Pohon Akasia, serta pepohonan lainnya menghias dipinggiran sawah tersebut. Hingga secepat kilat, pikir Eva pun memutuskan bahwa kali ini ia berada di sebuah desa. Kemudian sejauh dirinya memandang, penglihatannya menangkap rupa sesosok gadis.
Gadis itu melambaikan tangannya dari bawah pohon Akasia. Wajahnya tampak samar terbias bebayang pohon. Hanya senyumnya yang terlihat. Gadis itu juga tampak mengatakan beberapa potongan kata, namun samar untuk didengar. Dan kemudian, ia menghilang dibalik pohon tersebut.
Penasaran, akhirnya Eva berlari menuju pohon dimana gadis tersebut menghilang.
Ketika sampai, Eva terkejut. Gadis itu terbaring berlumuran darah. Kepalanya sedikit hancur, dan isi tubuhnya berceceran di rerumpun. Eva hendak untuk berteriak, namun suara dibelakangnya sudah mendahuluinya. Ditolehkannya ke asal suara tersebut, dan didapatinya seorang pemuda. Dengan ekspresi terkejut, pemuda itu menutup mulutnya dengan sebelah tangannya. Hingga akhirnya, dengan segera pemuda itu pun berlari menjauh dan batang hidungnya tak lagi terlihat diantara rumah penduduk desa yang tak jauh dari sana.
Eva mengejarnya. Namun, sosok pemuda tadi tak dapat ditemukannya dimanapun. Diperhatikannya orang-orang disekelilingnya. Anehnya, mengapa mereka semua menatap Eva dengan tatapan penuh kebencian?
“Dialah pembunuh itu! Sebaiknya, jangan kau dekati dia!”, ucap seorang gadis kepada salah seorang temannya. Eva mengalihkan pandangnya pada gadis tersebut dengan ekspresi terkejut.
“Hei, ia melihat kita!! Ayo pergi, sebelum kita menjadi korban berikutnya!!”, gadis itu kemudian berkata seraya menarik pergelangan tangan temannya tersebut.
“Pem….bunuh?”, ucap Eva, entah ditujukan kepada siapa. Air matanya mulai bergulir. Ia jatuh terduduk, dan seketika menangis diam dibalik kedua telapak tangannya. Meski hatinya meraungkan rasa sakit, namun pikirnya terus bertanya. Mengapa ia menangis?
***

Setelah air matanya tak lagi terproduksi, Eva membuka kedua telapak tangannya. Kini, ia berada di sebuah kaki bukit yang menghijau. Lalu terasa olehnya sesuatu yang membebani bahunya. Ketika ia menoleh, didapati bahunya tersebut disandari oleh Niko.
“Niko…”, panggil Eva. Niko hanya terdiam.
“Sekarang, kau telah mengetahuinya. Oleh karena itu, kumohon jangan membenciku”, pada akhirnya Niko mengucap. Eva tak mengerti apa yang dimaksudkan oleh Niko. Namun, ia segera kembali teringat tentang kejadian sebelum ia membuka kedua telapak tangannya.
“Dalam dongeng maupun kenyataan, serigala selalu dianggap jahat. Kenapa….. kenapa semuanya membenci serigala?”, Niko mengucap.
“Aku tak ‘kan pernah menjadi serigala lagi!”, lanjutnya disertai dengan air mata yang digulirkan oleh pelupuk matanya. Eva pun kemudian menyungging senyumnya seraya memeluk Niko.
“Meski begitu, sampai kapanpun aku takkan pernah membenci serigala. Aku, akan selalu menyukai serigala”
Mata Niko melebar. Namun, segera tergantikan oleh sebuah sunggingan senyum. Eva melepas pelukan tersebut, dan kemudian berkata, “Tunggulah disini. Meski tidak sebentar, aku akan kembali”.
Ia berlari, dan kemudian ia pun menghilang dibalik pepohonan diatas bukit.
***
“Niko!”, Eva menepuk bahu sang pemilik nama. Sang pemilik nama tersebut nampak terkejut, dan segera menolehkan wajahnya ke arah Eva.   
“Ini, kubuatkan untukmu”, Eva menyodorkan sebuah lipatan kertas. Lipatan yang putih polos, namun dihiasi oleh tiga tangkai daun semanggi di ujung bawahnya.
Niko membuka lipatannya. Serangkaian kalimat puisi yang berderetan dengan rapi, itulah yang tertangkap penglihatannya.
Teruntuk rindu.
Rindumu yang berada di ujung sana.
Yang membiarkanmu untuk menghitung hari.
Demi dirinya yang hilang, tak kunjung kembali.
Dan mungkin terkadang ia berharap.
Agar kenangan itu berhenti untuk menyapa dirimu.
Namun, kau tetap tak menghiraukan si tajam.
Yang tak pernah berhenti.
Untuk menunggu, maupun kembali.
Dan ia bukanlah aku.
Karena aku hanyalah angin peniup keinginanmu.
Untuk kesana.
Embun mata Niko mengalir setetes. Namun, senyumnya tampak mengembang.
“Ini, akan kusimpan baik-baik. Sampai kapanpun”, Niko menggenggam lipatan kertas tersebut. Senyumnya semakin merekah. Ia  tampak bahagia. Melihatnya, Eva pun ikut tersenyum.
  “Niko!!!!”, sebuah suara menyeru. Sepasang telinga Niko menegak. Ia pun menoleh ke sumber suara tersebut. Eva mengikuti arah pandangnya dan mendapati seorang gadis yang melambai sambil menyungging senyum jauh dari balik sebatang pohon Akasia. Wajahnya yang putih begitu cantik diterpa kehangatan mentari.
“Erin!!!!”, Niko balas melambai. Segera, Erin menghambur ke arah Niko dengan sepasang telinga domba yang melambai-lambai kecil diatas kepalanya. Rambutnya yang keemasan dan gaun putih kecil yang dikenakannya juga berkibar indah diatas rerumpun dan bunga yang mewangi.
Erin memeluk Niko erat, dan Niko membalasnya. Ekor mereka saling bergoyang. “Akhirnya kita bertemu lagi!”, ucap Erin dari balik perpotongan bahu Niko. Sambil tersenyum, Niko kemudian menanggapi, “Aku sangat senang, sangat-sangat senang sampai tak ingin membuang ingatanku tentangmu,”
Ia menoleh ke arah Eva seraya melanjutkan, “dan tentangnya”.
Eva tersenyum. Erin ikut menoleh ke arah Eva.  Mereka pun saling melempar senyum serta lambaian tangan.
“Terima kasih”
***
Eva membuka kedua matanya. Suasana kereta yang tak asing dan pemandangan yang juga normal, itulah yang tertangkap oleh indera beresolusi 576 megapiksel miliknya tersebut.
“Mimpikah…..?”, batinnya tanpa menuntut sepatahpun jawaban. Seketika, kereta yang ia tumpangi pun akhirnya mulai berhenti. Lalu, ia berdiri mengangkat tasnya dan kemudian segera menuruni kereta. Setelah itu, ia pergi mencari kereta kuda yang siap mengantarnya hingga ke suatu desa terpencil.
Hingga sampailah ia di rumah kakeknya. Ia mengetuk daun pintunya, dan kemudian masuk dengan perlahan. Didapatinya seorang kakek yang tengah tertidur diatas kursi goyangnya. Tangannya menggenggam sebuah lipatan kertas. Wajahnya begitu tenang, disertai bibirnya yang menyungging senyum. Dan matanya yang tertutup, takkan pernah terbuka lagi. Sampai kapanpun.
***
Suatu ketika sang Domba pun datang menemui sang Serigala. Ia meminta agar Serigala berhenti untuk membunuh. Dan ia juga berkata, bahwa ia akan mengajak sang Serigala untuk pergi ke suatu tempat. Tempat yang sangat jauh, dan tempat yang hanya diketahui oleh mereka berdua.

[End]


# Karya 3 tahun yang lalu (pas sy masih kelas 3 SMP), mohon maklumi tata bahasa/segala macam apalah itu entah yang masih terajep-ajep juga. *ngakak di pojokan*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan berikan komentar dengan bahasa yang sopan dan jelas. Itu saja, sekian dan terimakasih.

Flag Counter